Indah Wahyuningtyas
11207270
4EA04
Pungutan liar di dunia pendidikan
Latar Belakang
Pendidikan saat ini sangat mahal biayanya. Untuk itu pemerintah mempunyai program untuk meringankan beban masyarakat Indonesia agar tetap fokus pada pendidikan dan mengurangi beban biaya pendidikan. Pemerintah sudah meluncurkan program BOS untuk tingkat SD dan SMP. Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia masih dilingkupi rasa keprihatinan begitu mendalam atas berbagai kasus yang menggelayuti dunia pendidikan kita. Mulai kasus minimnya pemerataan fasilitas, sarana dan prasarana penunjang pendidikan, kualitas pendidik, mengakarnya praktek tauran antar pelajar atau mahasiswa sekalipun, mendarah dagingnya tradisi pembocoran lembar soal dan jawaban oleh segelintir guru beserta kepala sekolah saat ujian nasional (UN) tiba demi ambisi dan pencitraan sekolah, sampai terjadinya tindakan kekerasan.
Dengan demikian, segala elemen yang berkaitan dengan kualitas pendidakan, mulai dari emosional, spiritual, intelektual harus melekat dalam pribadi pendidik dan anak didik serta pengambilan keputusan sistem pembelajaran. Pelaku didunia pendidikan belum dapat membawa perubahan positif pada masyarakat Indonesia yang lebih baik dan arif, maka wajar bila praktik belajar-mengajar secara jelas telah terkalahkan oleh kekerasan. Carut-marutnya praktik pungutan liar pun telah mencoreng dunia pendidikan kita. Haruskah, kita tetap mempertahankan perayaan turun temurun itu? Sudikah sistem pendidikan kita jauh tertinggal oleh negara-negara tetangga?
Masalah
Sungguh mengerikan dan ironis tentang masalah yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di tengah-tengat gencarnya upaya pemberantasan buta huruf, menggencarkan wajib sekolah sembilan tahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu. Nyatanya, masih banyak lembaga pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih peningkatan kualitas. Padahal menuntut ilmu secara formal merupakan sektor strategis dan kunci bagi bangsa ini untuk menapakan kaki ke arah kehidupan bangsa yang lebih baik.
Pungutan liar biasanya dijumpai pada awal ajaran baru. Contohnya pasca penerimaan murid baru di tingkat SD dan SMP marak terjadi beberapa daerah. Besarnya pungutan beragam mulai dari 450 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Hal itu terungkap ketika puluhan orang tua murid mengadukan adanya pungutan liar ke Posko Pengaduan Penerimaan Siswa Baru (PSB) yang dibuka Indonesia Corruption Watch (ICW) di beberapa daerah.
Pungutan liar tersebut, biasanya banyak terjadi setelah siswa diterima di sekolah. Bukan pada saat proses penerimaan siswa baru. Bentuk pungutan tersebut dapat bermacam-macam, mulai dari uang bangunan, uang buku, uang pensiun guru, dan sebagainya. Jika sekolah tidak menyampaikan pertanggungjawaban, maka itu masuk ke dalam pungutan liar.
Banyaknya pungutan liar disekolah, terjadi karena tidak terbukanya sistem pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Padahal, untuk jenjang sekolah SD dan SMP, tidak diperkenankan memungut biaya apa pun yang terkait untuk biaya operasional sekolah karena sudah ada Bantuan Operasional Siswa (BOS).
Hipotesis dan Asumsi
Hipotesis dari masalah etika bisnis ini tergambar dari latar belakang dan masalah, yaitu mengenai pungutan liar di sekolah-sekolah yang disebabkan karena kurangnya keterbukaan sistem pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Setiap lembaga atau sektor-sektor harus memiliki sifat transparansi demi adanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Asumsi dari masalah pungutan liar disekolah ini perlu dipertanyakan kemudian adalah komitmen pemerintah mengenai kebijakan di bidang pendidikan. Selama ini, sangat terasa janggal di mana subsidi pendidikan lebih kecil daripada subsidi militer. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah kurang mendukung kecerdasan warga negaranya yang bisa muncul melalui pendidikan.
Landasan Teori
Etika bisnis adalah penerapan prinsip prinsip etika yang umum pada suatu wilayah perilaku manusia yag khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sepanjang sejarah perkembangan teori etika bisnis, telah berkembang banyak teori teori yang menjadi landasan dalam pegambilan keputusan, sehingga justifikasi dari berbagai perbuatan moral juga akan menjadi berbeda. Hal tersebut menyebabkan terjadinya banyak diskusi bagi para teoritis, walaupun dalam praktek nantinya, teori teori tadi akan menuju ke tujuan pemecahan masalah yang sama pula.
Beberapa teori yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah di atas adalah sebagai berikut :
1. Utilitarisme
Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang, melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarsme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the great number, kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Dapat dipahami pula kalau utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dan menilai baik buruknya. Kualitas suatu moral ditentukan oleh konsekuensi yang dibawa olehnya. Selain disebut sebagai teori konsekuensilialisme, teori ulitarisme ini juga disebut sebagai teori teleologis, sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.
2. Deontologi
Jika utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensinya, pada deontologi melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Yang menjadi dasar dari baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Sadar atau tidak, orang yang beragama, berpegang pada teori deontologi. Karena pegangan deontologi, setidak tidaknya dengan implisit, sudah diterima dalam konteks agama, dan sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang penting.
3. Teori Hak
Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena hak berkaitan dengan kewajiban. Tetapi, kini teori hak telah memiliki pendekatannya tersendiri. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu, teori ini cocok untuk pemikiran yang demokratis.
4. Teori Keutamaan
Teori keutamaan memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan tidak boleh dibatasi dari taraf pribadi saja, melainkan harus ditempatkan dalam konteks komuniter.
Dan dilihat dari kelima teori diatas, bisa diperhatikan bagaimana masalah yang terjadi pada semangat Go Green yang terjadi pada saat ini, telah dijadikan sebagai sebuah daya tarik baru dalam dunia pemasaran dan inovasi suatu produk.
Diperhatikan dari teori utilitarisme yang berlandaskan pada manfaat, maka dari segi produsen, maka perbuatan yang dilakuakan ini bisa dianggap benar. Namun, jika diperhatikan dari segi konsumen yang lebih luas, perbuatan ini bisa dianggap melanggar etika. Karena si produsen hanya mementingkan keuntungan perusahannnya semata dengan memanfaatkan trend semangat Go Green, tapi hanya sebagai slogan, dan produsen tadi telah melakukan Greenwashing yang hanya mengumbar umbar semangat tanpa realisasi. Terlihat tanpa manfaat dari segi umum. Dan dari teori deontologi yang berdasarkan pada masalah Greenwashing di atas, perbuatan itu bisa dikatakan sebagai melanggar moral karena dalam segi agama, Greenwashing tidaklah tepat dilakukan. Kemudian diperhatikan dari teori hak, maka si produsen memiliki kewajiban untuk bersikap jujur pada konsumennya, sementara si konsumen memiliki hak untuk memilih dan memahami apakah semangat Go Green yang dihembuskan oleh si produsen adalah jujur atau hanya sebagai inovasi untuk menarik konsumen semata. Kemudian teori terakhir adalah teori keutamaan yang berlandaskan pada akhlak seseorang untuk kepentingan orang banyak. Maka Greenwashing akan dipertanyakan sebagi sesuatu yang benar atau salah. Semua dikembalikan pada hati nurani.
Penutup
Kesimpulan
Minimnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan maka kini bertebaranlah mental-mental "rapuh" yang muncul dalam perilaku korupsi pada pribadi-pribadi pejabat bangsa ini. Korupsi yang merambah ke semua sektor, termasuk sektor pendidikan sendiri, kini seolah menjadi "benang basah yang sulit ditegakkan". Bahkan, hingga hari ini penyelenggaraan pendidikan sering kali mempraktikkan tindakan tercela dalam berbagai kegiatan sekolah dan proyek-proyek lainnya.
Saran
Untuk itu demi perubahan yang baik disektor pendidikan Indonesia dan disektor-sektor lain demi generasi penerus bangsa dan kemajuan bangsa, pemerintah harus memiliki peraturan yang tegas untuk dunia pendidikan. Pemerataan fasilitas sekolah, tunjangan yang layak bagi para guru atau pengajar, sistem pembelajaran yang baik. Apabila hal itu sudah teratasi maka akan meminimalisir atau dapat menghilangkan budaya pungutan liar di sekolah. Pemerintah juga harus mengusahakan agar biaya pendidikan tetap murah tanpa pungutan-pungutan wajib bahkan pungutan liar.
Dengan penyelenggaraan pendidikan murah juga akan mudah mengontrol perilaku korupsi yang marak terjadi pada berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan itu sendiri karena dana yang sedikit akan mudah diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dan, dengan pendidikan murah diskriminasi terhadap orang miskin untuk tidak boleh sekolah bisa dihindarkan. Singkat kata, dengan penyelenggaraan pendidikan murah, orang miskin tidak lagi dilarang untuk sekolah.
INGGRIS BISNIS 2
13 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar